Memburu "Pulau Buru, Tanah Air Beta"

09 June 2016

Beberapa waktu belakangan ini film “Pulau Buru, Tanah Air Beta” menjadi salah satu film dokumenter yang ramai dibicarakan. Tidak hanya soal inti ceritanya yang mengangkat mengenai isu-isu sensitif di Indonesia, tapi juga soal aksi-aksi aparatur Negara yang sibuk membubarkan acara pemutaran dan diskusi mengenai film ini. Di Jakarta, Yogyakarta, hingga Surabaya mengalami duka yang sama akibat batal mengadakan pemutaran dan diskusi mengenai film “Pulau Buru, Tanah Air Beta”. Alasannya beragam dan cenderung monoton di berbagai daerah, seperti ijin yang katanya belum tuntas, banyak warga yang menentang, hingga ormas-ormas yang menolak keras adanya acara tersebut. Banyak kecaman yang datang akibat peristiwa tersebut, mulai dari kalangan akademisi, aktivis, hingga masyarakat umum.

 

Pulau Buru, Tanah Air Beta

            Film yang bercerita tentang sosok bekas tahanan politik (tapol), Hersri Setiawan ini disutradarai oleh Rahung Nasution. Hersri datang ke Pulau Buru bersama istri dan anak perempuannya, Ken Setiawan. Hersri Setiawan adalah seorang sastrawan anggota LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), yang pada 1961-1965 diangkat menjadi wakil Indonesia dalam organisasi Persatuan Pengarang Asia-Afrika dan ditempatkan di pusat organisasi itu di Kolombo, Sri Lanka. Hersri Setiawan baru-baru ini juga mendapatkan penghargaan “Inspirasi Perjuangan HAM bagi Generasi Muda” dari Universitas Gadjah Mada. Penghargaan ini dianugerahkan bersamaan dengan bedah buku “Memoar Pulau Butu” karya Hersri.

            Pada film “Pulau Buru, Tanah Air Beta” penonton akan banyak disuguhi narasi berupa puisi-puisi karya Hersri Setiawan. Dalam film ini Hersri banyak bercerita tentang proses hidupnya menjadi seorang tahanan politik. Bahwa ia tidak pernah memiliki niat untuk kabur dari Pulau Buru, seperti kebanyakan tapol-tapol lainnya. Bagi Hersri, walaupun tinggal di tahanan tapi ia terus menjaga pengharapannya dengan cara menjaga kesehatan agar memiliki umur sepanjang-panjangnya, supaya dapat merasakan rasanya pulang suatu saat nanti. “Harapan saya adalah bertahan lebih lama agar bisa pulang,” ungkap Hersri di dalam film.

            Di sepanjang film Hersri mengenakan kaos bertuliskan “Pulau Buru bukti Orde Baru Keliru. Ojo Ditiru”. Ia juga bernostalgia mengenang sosok Heru, sahabatnya saat menjadi tahanan politik disana. Mencari jejak-jejak makam Heru adalah cerita lain yang mengharukan dalam film tersebut. Hingga akhirnya Hersri menemukan makam Heru diselimuti semak belukar dan diakhiri isak tangis juga doa bersama.

            Di dalam film penonton dibawa untuk menikmati Pulau Buru dengan langit biru dan pemandangan yang indah, seakan menjadi antitesis dari isu tahanan politik yang diusung. Hersri melakukan perjalanannya bersama Tedjabayu, sesama eks tapol Pulau Buru. Keduanya sempat mengunjungi sebuah gedung kesenian yang dibangun oleh para tapol Pulau Buru. Ada perbedaan yang jauh dari bangunan itu, dulunya terbuat dari kayu dan kini berdiri dari beton bahkan berbeda dari bangunan aslinya. Hersri juga terkejut melihat bangunan gereja disisi gedung kesenian yang terbakar dan sudah tak terawat. Satu-satunya monumen yang tersisa adalah sebuah monumen kecil di desa Savanajaya. Disitu tertera nama-nama tentara yang bertugas disana. Tedjabayu berkata sembari memandang monumen itu, “padahal yang bikin tapol.” Walau begitu, ia ingin monumen itu tetap dipertahankan, sebagai pengingat katanya.

            Film “Pulau Buru, Tanah Air Beta” juga menyajikan interaksi antara eks tahanan politik dan para transmigran. Diungkap dalam film tersebut bahwa transmigran juga mulanya takut untuk menetap di Pulau Buru, mendengar di luar sana ada desas-desus dan stereotype negatif mengenai Pulau Buru. Namun ketika ia berinteraksi langsung dengan eks tapol, transmigran merasa mereka (re: eks tapol) adalah orang-orang yang baik.

            Ken Setiawan, putri dari Hersri Setiawan, sangat terharu ketika bertemu dengan para eks tapol yang berada di Pulau Buru. Menurutnya, menjadi anak dari seorang eks tapol memiliki ‘tekanan’ yang luar biasa dan baru di Pulau Buru lah ia berani mengungkapkan identitas dirinya sebagai anak Hersri Setiawan, seorang eks tapol. Padahal itu baru kunjungan pertama Ken Setiawan ke Pulau Buru. Tidak hanya karena ia sadar harus paham dengan latar belakang kehidupan ayahnya, Ken juga sadar sebagai generasi muda harus paham dengan sejarah negerinya. Ken Setiawan diakhir film mengungkapkan rasa bangganya, “Saya bangga dengan Papa,” ungkapnya.

 

 

Merekam Jejak Pulau Buru, Tanah Air Beta

            Alur cerita dari film dokumenter Pulau Buru, Tanah Air Beta cenderung sangat sederhana. Bagaimana mata kamera mengikuti ingatan seorang eks tahanan politik yang mengenang kembali kejadian beberapa puluh tahun silam. Rahung Nasution sebagai sutradara tidak menitik beratkan pada dialog antar tokoh, namun layaknya teknik pembuatan film dokumenter Rahung lebih memberikan ruang pada para tokoh untuk bercerita dengan bebas dan apa adanya. Sehingga disini bisa kita lihat betapa Hersri Setiawan sungguh terbuka dan natural bercerita tentang kisahnya menjadi tahanan politik di Pulau Buru.

            Pada film ini tak jarang beberapa kali tiba-tiba kamera dalam posisi yang tidak stabil, bahkan dari sisi editing film ini juga kurang halus. Selain itu pemilihan narasumber di lapangan juga kurang memiliki karakter yang kuat. Namun, lepas dari urusan teknis, secara substansi film “Pulau Buru, Tanah Air Beta” berhasil menyajikan cerita ‘lain’ Indonesia dari sisi tahanan politik. Jika diingat memang sudah ada beberapa novel yang menyajikan kisah mengenai Pulau Buru, seperti karangan Pramoedya Ananta Toer maupun Laksmi Pamuntjak, namun ini adalah film pertama yang bercerita mengenai pulau di timur Indonesia ini.

 

Pemutaran dan Diskusi – Pulau Buru, Tanah Air Beta

            Keberadaan film “Pulau Buru, Tanah Air Beta” yang sensitif, menjadikan pihak yang ingin membuka ruang untuk berdiskusi dan memutarkan film ini menemui sejumlah proses yang alot. Begitu juga yang dialami oleh panitia dari Badan eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Airlangga Surabaya. Namun perjuangan yang dilakukan oleh panitia membuahkan hasil yang cukup patut diacungi jempol, apalagi melihat antusias peserta yang menghadiri diskusi dan pemutaran film yang diadakan pada Rabu, 18 Mei 2016 lalu. Ruang Siti Parlinah yang berada di lantai 2 FIB penuh sesak. Mulanya target perserta hanya 100 kursi, namun kenyataanya sampai menembus angka sampai 200 orang lebih. Alhasil, para peserta ada yang berhimpit-himpitan berdiri dan lesehan dilantai. Peserta pun tidak hanya datang dari kalangan mahasiswa saja, melainkan datang dari dosen, aktivis, jurnalis, hingga masyarakat umum.

            Diskusi menghadirkan 3 narasumber yakni dari HRLS (Human Rights Law Studies) sekaligus dosen Fakultas Hukum UNAIR– Herlambang P. Wiratraman, Redaktur Islam Bergerak – Roy Murtadho, dan Airlangga Pribadi, Ph.D – Dosen Ilmu Politik di FISIP UNAIR. Pada diskusi ini Herlambang P. Wiratraman tidak mengelak bahwa Indonesia memang pernah mengalami peristiwa kelam yang akhirnya menghasilkan banyak korban. Herlambang juga menyayangkan adanya pembubaran atas diskusi dan pemutaran mengenai film “Pulau Buru, Tanah Air Beta” di sejumlah lokasi. Airlangga Pribadi juga menambahkan, adanya ‘hantu-hantu’ komunisme yang kini sedang bergentayangan lagi menjadi alasan besar mengapa film ini dilarang peredarannya. Tidak hanya film, buku-buku yang berkaitan dengan isu ‘kiri’ pun sudah ditarik dari peredaran. Hal tersebut cukup membuat miris, mengingat acara diskusi seperti di FIB ini menggunakan kacamata akademisi yang tujuannya ‘hanya’ mengkaji sebuah fenomena, namun di sisi lain masih ada saja pihak yang melarang adanya acara semacam ini karena ‘trauma masa lalu’ yang menjurus pada ketakutan tertentu.

            Jika Anda sudah melihatnya maka Anda akan paham bahwasanya film “Pulau Buru, Tanah Air Beta” karya Rahung Nasution ini bukanlah sebuah film yang menyelipkan paham-paham yang dilarang di Indonesia. Film ini murni menceritakan tentang kisah seorang Hersri Setiawan sebagai eks tahanan politik yang dulunya diasingkan di Pulau Buru. Selebihnya, film ini tidak sekalipun membahas mengenai komunisme dan paham yang ‘mengkhawatirkan’ lainnya. Lantas apa yang bermasalah dari film ini sehingga patut hukumnya dilarang untuk diputar? Atau mungkin masih ada sejumlah masyarakat negeri ini yang belum siap menerima kenyataan? Kenyataan bahwa ada sesuatu yang salah dari ajaran sejarah bangku sekolah.

 

Teks : Virgina Sanni/Nadia Maya Ardiani

Foto : buttonijo.com