07 September 2016
Perlahan-lahan hawa hangat hadir ditengah-tengah Gedung Cak Durasim yang mulanya dingin. Lampu sorot mulai hidup, tapi tirai masih tertutup. Sesosok pria berusia lanjut memasuki panggung, berdiri tepat di tengah. “Pegupon omahe doro, gak onok Nippon tetep soro,” (Pagupon rumahnya burung dara, tidak ada Jepang tetap sengsara) ujarnya, memlesetkan parikan legendaris buatan Cak Durasim(tokoh ludruk Surabaya yang namanya diabadikan menjadi gedung kesenian yang menjadi venue acara ini), yang langsung disambut tawa riuh penonton seisi gedung. Beliau adalah Cak Lupus, salah satu seniman ludruk gaek yang masih konsisten berkarya di kota ini. Sebagaimana biasanya sebuah konser menampilkan opening act, alih-alih menghadirkan band pembuka Silampukau makin mengokohkan citarasa Surabaya di konser ini dengan menghadirkan ludrukan sebagai pembukanya.
Tampil leko di atas panggung, Cak Lupus melancarkan parikan demi parikan sampai bolak-balik dikode time keeper bahwa waktunya nyaris habis, tapi penontonpun tampak tak terganggu dengan durasi ekstra opening act kali ini. Beberapa penonton bahkan terdengar ngerasani si mas-mas time keeper(“duh ganggu aja deh,”)--bisa jadi karena si masnya masuk ke area penonton dengan gestur yang cukup heboh sih. Cak Lupus lalu silam ke balik panggung diiringi tepuk tangan penonton, kemudian petikan gitar mulai terdengar, dan akhirnya terlihat dua sosok lelaki yang bersiap bernyanyi. “Bola Raya” adalah lagu pertama yang mereka mainkan.
Silampukau menggelar konser tunggal dengan tajuk “Konser Silampukau dan Kawan-Kawan” satu hari setelah negeri ini merayakan kemerdekaan, 18 Agustus 2016. Silampukau sebelumnya sudah sukses menggelar pertunjukan serupa di Jakarta dengan judul “Bermain di Cikini”. Entah sengaja atau tidak, kedua venue yang dipilih adalah gedung pertunjukan yang ikonik di kotanya masing-masing. Pertunjukan duo folk beranggotakan Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening ini sangat menarik perhatian penikmat musik Surabaya. Memainkan 14 lagu dari EP “Sementara Ini” dan album penuh pertama “Dosa, Kota, dan Kenangan”, Silampukau tampil sesuai judul konser yaitu ‘bermain bersama kawan-kawan’, dengan menghadirkan banyak teman-teman musisi dengan beragam ‘senjata’ masing-masing di atas panggung, seperti : Cello, Keyboard, Ukulele, Drum, Bass, Trumpet, Trombone, Musical Saw, Violin, Kendang, hingga Akordeon.
Tidak hanya di atas panggung yang ‘keroyokan’, di luar pintu gedung pertunjukan pun terjadi ‘keroyokan’. Bukan, bukan keroyokan fisik yang kami maksud. Tapi ‘keroyokan’ mendapatkan tiket--yup, 500 tiket yang tersedia berhasil terjual habis. Terpantau penonton tidak hanya datang dari Surabaya saja, melainkan ada juga yang datang dari Malang hingga Kota Kembang, Bandung. Panitia telah memajang tulisan ‘SOLD OUT’ di depan venue, tapi masih ada juga yang mencoba peruntungan dengan bertanya langsung apakah tiket on the spot masih tersedia. Walhasil banyak yang terpaksa pulang sambil tersenyum kecut melihat temannya update nonton konser Silampukau di sosial media.
Banyak hal menarik yang ada dalam konser ini sehingga menjadikan penampilan kali ini makin terasa istimewa dan berbeda dari gig Silampukau biasanya. Selain pembukaan berupa ludrukan dan dilibatkannya banyak kawan-kawan musisi, Silampukau juga sempat membawakan komposisi dangdut genit yang mana Lady On Ukulele (Ayu Asayaka) ‘ditanggap’ untuk mengisi pos vokal. Penonton langsung bersorak dengan semangat, ditambah lagi dengan aksi panggung Lady On Ukulele yang bikin semuanya ‘gemas’. Bahkan ketika terpeleset dan terjatuh di atas panggung pun, ia masih memberikan pertunjukan yang heboh dan menarik, seakan tak terjadi apa-apa sebelumnya. Penampilan dramatis Kidung Kelana(Musical Saw) yang menggantikan suara Violin pada lagu “Malam Jatuh di Surabaya” dengan gesekan alat musik gergaji miliknya membuat performance pada nomor ini menjadi makin berkesan. Adanya ‘waktu istirahat’ 10 menit yang dikabarkan oleh seorang ‘narator’ yang mempersilakan para hadirin untuk permisi buang air sejenak maupun untuk menelepon ortu di rumah karena bakal pulang kemaleman pun sukses mengantar penonton untuk rela menunggu dengan woles dan tetap gembira. Saat break ini pula panitia membagikan ke para penonton marakas kayu kecil berbentuk telur dengan logo Silampukau tertambat di bodinya, sebuah instrumen yang kemudian menjadikan penonton ikut terlibat dalam proses produksi bunyi-bunyian selama konser berlangsung, mengiringi duo kepodang dan kawan-kawannya di atas panggung. Ide membagi marakas ini bisa dibilang cerdas karena marakas yang boleh dibawa pulang ini akhirnya menjadi souvenir konser yang dapat dipakai lagi di kemudian hari, berpotensi menjadikan pemilik/penggunanya teringat terus akan konser malam itu.
Pada konser ini Silampukau seakan sengaja ‘pelit’ untuk memainkan lagu-lagu andalannya. ‘Puan Kelana’, ‘Sang Juragan’, dan ‘Doa 1’ disimpan di sepertiga akhir setlist hingga ujung ditutup dengan ‘Sampai Jumpa’ seperti biasanya. Panggung dan tata lampu yang teatrikal serta posisi duduk penonton yang nyaman karena bisa kelesotan tanpa terbatas kursi membuat konser ini terasa nikmat. Namun penampilan memukau itu sedikit terusik dengan transisi panggung yang agak terlalu lama & sempat terjadinya gangguan teknis berulang pada gitar Kharis. Hanya saja hal itu tidak membuat penonton kehilangan pengalaman indah ketika menonton Konser Silampukau dan Kawan-Kawan. Bermain bagus dan menyentuh itu memang sudah menjadi bagian dari cerita Silampukau sejak lama, namun ketika ‘kembali ke rumah’ dimana orang-orangnya sudah familiar dengan apa yang mereka lakukan dan kemudian berhasil untuk tidak membuat orang jemu dengan hal itu, that’s a plus. Berawal dari niat mengabadikan Surabaya lewat musik, semoga Silampukau makin abadi di dalam hati seluruh pendengarnya dimanapun itu--tak hanya di Surabaya.
Naskah & Foto : Nadia Maya Ardiani, Virgina Sanni