Reminiscing Va Va Voom 1, Getting Ready for Va Va Voom 2!

13 October 2016

Berakhirnya seri conceptual market Sunday Market sempat membuat skena kreatif Surabaya agak sedikit ‘tenang’. Sebetulnya acara serupa banyak digelar di berbagai sudut Surabaya, sayangnya walau market-market tersebut memiliki tema-tema yang menarik namun tak semuanya memiliki karakter yang kuat. Beberapa malah tampak begitu jor-joran pada departemen dekorasi, namun diluar itu semangat kolektifnya kurang terasa, jadi rasanya seperti mengunjungi sekumpulan stand di tempat yang berdekorasi bagus semata. Sementara itu bicara soal musik independen lokal, Sunday Market sedikit banyak men-trigger lahirnya promotor-promotor musik independen yang membuat Surabaya makin bergairah. Itu sebabnya saat Sunday Market berakhir, ada perasaan kehilangan dan bertanya-tanya, apakah nanti bakal ada acara seberkesan dan seberpengaruh itu yang akan mewarnai Surabaya lagi?

Tak perlu waktu lama, tak sampai setahun Soledad and the Sisters Company (SATS.CO), the team behind Sunday Market  kembali hadir dengan ‘bayi’ barunya, Va Va Voom!, yang memiliki menu utama music performances. Menu utamanya memang musik, tapi tentu saja banyak agenda lainnya yang sayang untuk dilewatkan seperti workshop,  eksibisi, dan tentunya ada beberapa tenant yang turut memeriahkan(walau dengan jumlah yang jauh lebih sedikit). Dan walau seri event kali ini tak sepenuhnya dinahkodai oleh tim ini, bukan berarti Va Va Voom kehilangan tajinya. Mengusung tagline “Music Liberate!”, Va Va Voom menghadirkan eskapisme musikal menyenangkan bagi penikmat musik Surabaya di akhir pekan tiap bulannya—yup, Anda gak salah dengar, ini adalah event bulanan. Setelah gelaran pertama telah sukses dihelat Sabtu 24 September 2016 silam, bulan ini Va Va Voom akan kembali berderu pada tanggal 15 Oktober 2016! Sounds like another fun weekend, huh? Nah sebelum datang ke gelaran ke-2 nya minggu ini, kami akan sedikit mengingatkan Anda akan kemeriahan yang ada di Va Va Voom vol.1 kemarin. Read on!

Tim Merdeka berkesempatan menikmati Va Va Voom sejak acara baru dimulai, yaitu di sore hari. Belum ada sajian musik yang mengambil alih panggung, tapi telah banyak keriuhan terjadi di venue House of Sampoerna. Sore itu, ada workshop Watercolor Drawing bersama Thomas Hanandry dan Tea Party bersama Utterly Me Magazine.  Workshop Watercolor Drawing bersama Thomas Hanandry persembahan dari Hand Meet Hand menjadi salah satu acara yang paling dinanti. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme peserta yang terdaftar sekitar 30 orang. Bahkan ketika hari dimana berlangsungnya workshop, pendaftaran sudah ditutup karena kuota peserta sudah terpenuhi. Seluruh peserta mendapatkan workshop kit yang berisi kuas, kertas, hingga cat air. Thomas memberikan ilmu mengenai teknik mewarnai dengan menampilkan beberapa contoh karyanya.

Thomas juga bercerita darimana awalnya mendapatkan inspirasi untuk menggunakan teknik waterless color. Mulanya Thomas memang memiliki dasar dalam hal menggambar mengunakan pensil dengan teknik arsir. Proses dari semua itu dia anggap cukup lama, sehingga butuh teknik pewarnaan yang cepat. Banyaknya jenis warna, seperti cat minyak misalnya, memang sengaja tak ia pilih karena proses pengeringannya sangat lama. Begitu juga cat air yang juga harus memiliki waktu tunggu untuk kering. “Akhirnya setelah mencoba ini itu, saya pakailah teknik waterless color. Airnya sedikit saja, jadi keringnya lebih cepat. Pengerjaannya pun juga lebih cepat,” ungkap Thomas disela-sela workshop. Selain bercerita mengenai awal mula dari teknik waterless color, ia juga tak tanggung-tanggung untuk meminjamkan alat-alat gambarnya kepada peserta. Peserta diundang untuk merapat ke baris depan dan melihat bagaimana  proses mewarnai ala Thomas. “Ayo… silahkan lho kalau mau dipakai gak papa,” ujarnya.

Jika diperhatikan, karya-karya Thomas Hanandry tidak jauh-jauh dari perempuan, misalnya penyanyi Raisa Andriana yang sempat menjadi objek gambarnya. Ketika dikonfirmasi mengapa harus perempuan, ia menjawab, “karena saya laki-laki. Feel-nya beda aja ketika objeknya adalah perempuan. Hehehe.” Sebelum mengakhiri workshop, ia juga memberikan tips untuk teknik waterless color pemanasannya dengan cara menggambar rambut. Bahkan sampai saat ini Thomas juga mengaku masih melakukan teknik pemanasan tersebut. Art Exhibition dari karya Thomas sempat terusik hujan yang tiba-tiba turun, tapi show must go on maka karya-karya milik Thomas berpindah dipajang tepat di depan pintu masuk ruang workshop, sehingga peserta juga dapat menikmatinya.

Pada waktu yang sama, di halaman House of Sampoerna juga diadakan acara Tea Party bersama Utterly Me Magazine dalam rangka launching majalah edisi keempat. Utterly Me adalah beauty journal yang membahas mengenai isu-isu seputar wanita. Tujuan utama dari majalah ini bukanlah untuk me-review produk make up tertentu dan lainnya, melainkan untuk mengedukasi dan memotivasi para wanita. Peserta yang hadir tidak hanya dari undangan, tapi juga terbuka untuk umum, lengkap dengan dresscode batik. Selain menikmati teh bersama-sama, para peserta juga menikmati jajanan-jajanan tradisional seperti bubur Madura, jajan pasar, dan lain sebagainya. Disela-sela itu juga kerap kali diadakan diskusi santai tipis-tipis mengenai isu-isu yang berkaitan dengan perempuan.

Malam menjelang, yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba—musik di malam Minggu! Masih dalam suasana sehabis hujan, Porn Ikebana yang beberapa saat lalu sempat rehat dari dunia persilatan musik indie Surabaya kembali menjajah panggung dan tampaknya siap untuk bangun dan berlari dengan karya-karyanya lagi. Kombinasi wangi tanah basah, udara yang semriwing, kelap-kelip lampu temaram, dan suasana lawas dari venue yang merupakan museum berpadu dengan sound Porn Ikebana yang kaya dan magis membuat atmosfer malam itu sungguh wicked, in a good way. Selanjutnya ada Wake Up Iris!, duo folk asal Malang yang membawakan musik akustik bahagia dengan aroma Irlandia yang kental. Kombinasi gitar-kickdrum-biola yang rancak dari Wake Up Iris sangat pas untuk dinikmati dibawah langit malam penuh bintang, bahkan walau malam itu sepertinya bintangnya sedang absen rasanya sensasi itu tetap berasa.

Tongkat estafet panggung kemudian dilanjutkan oleh respectful duo AriReda. Telah berkarya sejak awal dekade 80’an, musikalisasi puisi yang dilantunkan keduanya langsung menghipnotis penonton. Penonton cenderung diam tak bersuara, tapi mata mereka tampak antusias. Ya, cara terbaik untuk menikmati musik AriReda sepertinya memang dengan diam menghayati sambil sesekali bergumam di bait-bait yang bermakna paling personal bagi pendengarnya masing-masing. Dan sesuai dengan kondisi venue yang sempat terguyur hujan, AriReda pun membawakan salah satu karya Sapardi Djoko Damono yang paling dicintai, "Hujan Bulan Juni". Suasana jadi makin syahdu, beberapa penonton tampak bernyanyi malu-malu, beberapa yang hafal puisinya tapi tak tahu irama musikalisasinya tampak bersemangat merapalkan kata demi kata, walaupun meleset terus dari melodi. Saat membawakan nomor ini, Reda Gaudiamo kasih bocoran kalau puisi ini sedang dalam proses ‘alih wahana’(teori Sapardi mengenai transformasi bentuk dari format media satu ke yang lainnya) menjadi bentuk film, wah tentunya worth to wait nih!

Suasana syahdu dari AriReda mendadak berganti menjadi festive begitu Stars and Rabbit menyeruak masuk dengan nomor menghentak “I’ll Go Along”. Spontan banyak penonton yang langsung ikut bernyanyi. Namun mungkin karena efek udara pasca hujan yang bikin pengen leyeh-leyeh saja, crowd yang hadir lebih cenderung untuk menikmati performa Stars and Rabbit sambil duduk santai di depan panggung. Menyemut, tapi duduk. Ini termasuk hal yang tidak biasa karena biasanya di gig Stars and Rabbit penonton lebih cenderung menikmati sambil berdiri. Ternyata ‘gravitasi’ paving yang belum seberapa kering itu kuat juga ya. Hal ini juga sempat membuat gemas Elda, sang vokalis, yang akhirnya nyerah setelah mengomandoi penonton untuk membunyikan ‘kicrikan’ dari kayu tapi ternyata kicrikannya tidak bisa berbunyi nyaring, bahkan ada yang saking semangatnya membunyikan kicrikan sampai loncengnya lepas. 'Kicrikan' dari ranting pohon & lonceng ini merupakan hasil buatan tangan pengunjung di sore harinya, dan pembuatan kicrikan seperti ini pernah dilakukan Elda di salah satu gig Stars & Rabbit beberapa waktu lalu(waktu itu bahkan Elda bikin sendiri sebanyak sekitar 400 kicrikan lho, totally handmade!). Di lagu "Old Man Finger" Elda sempet ngajak penonton buat bareng-bareng membunyikan kicrikan tersebut, karena jika banyak kicrikan ini dibunyikan barengan maka akan menimbulkan atmosfir 'magic'. Sayangnya kali ini hal itu belum kesampaian dilangsungkan di gelaran kali ini. Walau begitu, performa Stars and Rabbit tetap menggigit. Dan “Man Upon The Hill” yang dibawakan sebagai nomor pamungkas, seperti biasa selalu berhasil menjadi penutup yang majestic, seberapapun skala pagelarannya.

Sabtu ini, Va Va Voom vol. 2 bakal digelar lagi di Marvell City dengan lineup yang sangat ditunggu-tunggu (karena beberapa memang belum pernah berkunjung ke Surabaya), yaitu Under The Big Bright Yellow Sun, Scaller, Hi Mom!, dan Timeless. Tentu saja bakal ada acara-acara pendukung lainnya yang tak kalah menarik. Sebagai pencari hiburan spesial di akhir pekan, tentu kita berharap acara seperti ini bisa sering-sering meramaikan Surabaya. Va Va Voom tampaknya akan menjadi agenda rutin Surabaya yang patut ditunggu tiap bulannya, dan entah akan bertahan sampai volume berapapun nantinya, semoga dapat memancing ‘rasa gatal’ dari inisiator-inisiator lain untuk membuat creative event(kreatif, bukan konsumtif semata) berikutnya. Suatu gelaran yang—karena ini musim hujan maka akan kita sambungkan dengan cuaca—seperti petrichor, alias aroma alami yang muncul saat hujan turun membasahi tanah kering : segar, khas, & menyenangkan. Kita tunggu saja.

 

Naskah & foto : Nadia Maya Ardiani, Virgina Sanni