30 May 2018
Jakarta, CNN Indonesia -- Fraksi gabungan dari Partai Hanura, Partai Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan (Handap) DPRD Kota Surabaya menolak perubahan nama Jalan Gunungsari menjadi Jalan Prabu Siliwangi dan Jalan Dinoyo menjadi Jalan Pasundan.
"Fraksi Handap mendasari penolakan itu pada tiga aspek, yakni historis, administrasi, dan kepatutan," kata juru bicara Fraksi Handap Vinsensius Awey dikuti Antara di Surabaya, Selasa (29/5).
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Surabaya tentang Pedoman Pemberian Nama Jalan dan Sarana Umum sudah masuk pada tahap pandangan umum fraksi DPRD Surabaya.
Fraksi Handap tegas menolak perubahan nama Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari yang menjadi inti pembahasan dalam rapaerda tersebut. Awey mengatakan persoalan perubahan nama Jalan Dinoyo dan Gunungsari pernah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat beberapa waktu yang lalu.
Hal ini, lanjut dia, masih menjadi catatan penting yang harus dicarikan solusi, karena beberapa pihak menilai pemerintah kota harus tetap memperhatikan penolakan tersebut.
"Fraksi kami tetap meminta agar pembahasan Raperda ini nanti tidak serta merta mengabaikan adanya persoalan tersebut," ujarnya.
Awey menjelaskan dari catatan sejarah, kedua jalan ini adalah bagian dari jaringan jalan antar kota tertua di Indonesia. Kedua jalan itu sudah ada sejak dua abad silam, dan kedua nama jalan tersebut adalah saksi sejarah, melekat di ingatan kolektif publik.
"Pada tahun 1809-1811, Gubernur Hindia Belanda Willem Herman Daendels membangun jalur pos yang menghubungkan Anyer-Panarukan. Saat menembus Surabaya, jalan itu melalui desa Dinoyo. Sedangkan Gunungsari adalah percabangannya. Dua jalan ini adalah satu rangkaian," katanya.
Selaian itu, kata dia, di Dinoyo ada makam keramat yang disebut Mbah Cagak Joyo Prawiro Dinoyo. Bahkan keturunan Mbah Cagak masih banyak di daerah ini. Sosok Mbah Cagak Joyo dari mulut ke mulut diyakini adalah perwira perang masa akhir kerajaan Majapahit.
Bahkan, masih satu rangkaian dengan sejarah Sunan Bungkul yang makamnya juga tidak jauh dari situ. Jika ini benar, maka Dinoyo sudah ada pada periode Sunan Ampel yaitu sekitar Tahun 1400-an.
"Soal ini, mari kita perdalam lagi. Sebab kelemahan sejarah nusantara memang miskin literatur," ujarnya.
Di sisi lain, lanjut Awey, nama Jalan Dinoyo itu sendiri dikenal bersejarah pada perang 10 November. Di Jalan Dinoyo ini ada sejumlah catatan perang, termasuk penuturan sejarahwan Pieter A Rohi, dimana pada 21 November 1945, Agen Polisi F Nainggolan dengan berani menurunkan bendera Jepang dan diganti merah putih. Jepang marah dan hendak menurunkan merah putih, namun saat itu terjadi bentrok sengit dengan arek Dinoyo yang memagari bendera merah putih.
Heroisme di Jalan Gunungsari tidak kalah hebat karena menjadi pertahanan terakhir pasukan republik. Melalui Jalan Gunungsari, sekutu meringsek ke arah barat. Sejarah mencatat, jika Jalan Gunungsari berhasil dikuasai, maka arah Surabaya Barat akan dikuasai sekutu.
"Puncaknya, perang sengit pada 28 November 1945, rakyat menyerbu dari bukit-bukit yang sekarang menjadi Yani Golf. Menghadang konvoi pasukan dari Wonokromo melewati Jalan Gunung Sari. Jalan Gunung Sari menjadi tempat penentuan dikala itu," kata Awey.
Selain aspek sejarah, lanjut dia, pertimbangan administrasi penduduk setempat. Setiap ada perubahan nama jalan, selalu berdampak pada perubahan administrasi masyarakat.
"Bagaimanakah kesiapan perubahan identitas dari sisi administratif apakah masyarakat akan direpotkan dari sisi waktu dan materi dengan bergantinya kartu identitas berupa KTP dan KK serta dokumen penting lainnya, sehingga perlu ada antisipasi yang baik untuk menyelesaikan masalah ini," katanya.
Dari aspek kepatutan, menurut Awey juga harus menjadi catatan. Pemkot didorong untuk selalu memerhatikan nilai-nilai dan keinginan yang ada di masyarakat. Apalagi, Pemkot masih belum mengetahui apakah perubahan nama jalan itu menjadi kebutuhan masyarakat.
"Kalau hanya untuk memperbaiki relasi antara Pemprov Jatim dan Jabar, bisa dicarikan alternatif lokasi jalan di kawasan pengembangan yang mana nama-nama jalan di kawasan tersebut masih memungkinkan dirubah sebagai contoh Jalan Boulevard kawasan Bukit Darmo JLLB, atau JLLT yang kecil," katanya.
Diketahui penamaan dua jalan tersebut digagas dan diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan HB X dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dalam acara rekonsiliasi budaya antara Sunda dan Jawa dengan tema "Harmoni Budaya Sunda Jawa" di Surabaya pada Selasa (6/3).
Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyampaikan pergantian nama jalan menandai rekonsiliasi antara Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat sekaligus mengakhiri 661 tahun "perselisihan" antaretnis Sunda dan Jawa.
"Melalui ini, permasalahan antara etnis Jawa dan Sunda yang terjadi pascatragedi Pasunda Bubat yang terjadi pada tahun 1357 Masehi selesai hari ini," ujarnya.