Suara Hati Virgina Sanni #PenyiarItuProfesi

28 March 2016

“Kenapa harus menjadi penyiar?”

“Kenapa sih mau kerja di radio? Gajinya kan kecil!”

“Kenapa gak kerja di media lain? TV misalnya, enak kan orang se-Indonesia bisa lihat muka kamu?”

 

        Sekelumit pertanyaan tiba-tiba menghadang ketika memutuskan diri untuk terjun di industri media massa, khususnya radio. Memilih untuk tinggal di “rumah” yang mana bagi kebanyakan orang seperti memilih pasangan hidup, tentunya harus diperhatikan bibit, bebet, dan bobot. Saya setuju! Namun bukankah itu suatu hal yang subyektif? Lepas dari “pagar” sekolah dan keilmuan, manusia memang bebas memilih dan membuat jalannya sendiri. Ada yang sibuk menentukan arah menuju korporasi besar, ada pula yang masih menempa diri untuk menjajaki idealismenya, dan ada juga yang memutuskan untuk menambah referensi akademiknya. Sedangkan Saya? Saya tegas memilih bahwa Profesi menjadi wartawati cukup menjadi “pembeda” bagi diri saya.

         Radio adalah salah satu media yang tak pernah saya usik. Bahkan ketika masih menjadi pelajar, ilmu tentang radio tak banyak saya selami. Awalnya saya tak mengenal siapa dia, bagaimana dia berproses, dan apa yang dapat dia lakukan. Namun pepatah “tak kenal maka tak sayang” ternyata saya alami, menjadi penguat mengapa kini banyak orang bertanya mengenai kredibilitas radio. Banyak yang sudah tidak mengenal, sehingga enggan untuk bergairah mengerti lebih dalam. Saya merasa beruntung menjadi yang “terlambat”.

          Seperti cinta pada pandangan pertama, ditambah restu dari alam semesta, begitulah metafora pertemuan saya dan dia. Saya, sebagai pekerja radio, mencoba menikmati dengan sadar apa yang saya utarakan untuk publik dan mendengarkan apa yang sebenarnya diinginkan publik. Menyenangkan ketika menghadapi berbagai narasumber yang terkadang tidak “peka” telah ditunggu berjam lamanya, dan ketika berjumpa tak sesuai dengan ekspektasi dimuka. Gelisah ketika belum banyak bekal materi sebelum mengudara. Bahagia ketika mendapatkan dan bertemu dengan orang-orang “besar” yang sungguh berharga ilmunya. Tertantang ketika setiap hari harus selalu berpikir “baru”. Harus selalu “prima” menghibur pendengar sampai-sampai lupa bahwa diri ini juga butuh untuk dihibur. Rela ketika waktu kencan datang, masih bergulat untuk menyelesaikan beberapa tugas liputan. Ikhlas ketika jam malam datang, tak sempat pulang ke rumah, dan akhirnya beristirahat di ruang kantor. Toh begitulah rasanya ketika kantor juga memiliki kenyamanan dan rasa yang sama seperti rumah.

          Mengenai pendapatan ? Itu bukanlah suatu penghambat jika kita “cerdik” dalam menggali diri secara maksimal. Saya percaya dimana pun kita berpijak, nominal angka bukanlah melulu menjadi tolak ukur dari apa pun yang ada di semesta ini. Passion akan lebih menghidupi-tidak hanya angka-diri, batin, dan juga rasa.